Rabu, 30 Maret 2011

Pengakuan ’’Memalukan’’: Saya Suka Surabaya

”Surabaya itu panas, rata, jelek, dan macet.” Lho, nanti dulu… Itu kedengarannya lebih mirip seperti Jakarta.


Bagi banyak orang Malaysia, Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia adalah sebuah misteri. Yang jelas, banyak pebisnis kita (Malaysia) yang langsung terbang ke Jakarta hanya untuk merasakan beratnya kebesaran dan kompleksitas ibu kota tersebut. Bahkan, orang Jakarta biasanya meremehkan kota yang disebut sebagai Kota Pahlawan itu. Seperti yang disampaikan seorang warga Kebayoran, ”Surabaya itu panas, rata, jelek, dan macet.” Lho, nanti dulu… Itu kedengarannya lebih mirip seperti Jakarta.

Hanya, beberapa pekan lalu, seorang tokoh kebudayaan Indonesia mencoba meyakinkan saya bahwa tidak ada apa-apa yang bisa saya dapatkan dari Surabaya. Dia bahkan memberikan penilaian sangat spesifik. Mengulangi kata ”tidak ada apa-apa” dengan penuh ketegasan. Komentar tersebut membuat saya harus memberikan pengakuan yang ”memalukan”: Saya suka Surabaya. Dan, saya sangat menyukainya, walaupun saya tidak bisa makan rawon, sup daging sapi yang menjadi makanan kondang Jawa Timur Dengan populasi lebih dari tujuh juta orang, dari Gresik di sisi utara hingga Sidoarjo di sisi selatan, Surabaya adalah sebuah kota yang bersiap untuk berbisnis. Sebagaimana ”kota-kota kedua” lain di seluruh dunia, seperti Chicago, Manchester, dan Osaka, kota ini tangguh, sungguh-sungguh, dan blak-blakan. 

Dengan kepemimpinan koran lokal Jawa Pos, ada nuansa komunal dan kebersamaan yang kuat di kota ini. Sebuah kualitas yang sangat saya rasakan dalam diskusi dua jam di Graha Pena, kantor pusat Jawa Pos yang bersinar. Di sana saya bergabung dengan banyak penulis dan pemikir hebat kota tersebut, termasuk Profesor Budi Darma yang punya banyak kepedulian. Saya suka sekali ketika dia menyebut saya sebagai ”diplomat kantong teh”. Komentar itu membuat saya sempat termenung sejenak. Kantong teh? Dia kemudian menjelaskan bahwa saya adalah orang yang sangat membenamkan diri dengan lingkungan sekitar, seperti layaknya kantong teh. Aha! Seperti yang saya bilang, Surabaya adalah kota yang sangat blak-blakan. Kota ini juga sangat mengakar. Secara harfiah, karena di sini ada banyak sekali tanaman, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan di mana-mana. Kota ini lebih rapi, lebih bersih, dan lebih teratur. Cukup berbeda dengan Jakarta yang menyesakkan. Obsesi kota ini terhadap penanaman pohon telah memberikan hasil luar biasa. Pertama, itu menjadikan kota ini lebih sejuk. Selain itu, program penanaman pohon telah memperkuat dan mempertegas rasa kepemilikan. Pujian harus diberikan kepada sang Wali Kota Ibu Risma (Tri Rismaharini). Mantan administrator yang menjadi politikus itu tangguh dan tidak banyak basa-basi. Dalam sebuah acara halal bihalal di pinggiran kawasan prostitusi ”legal” Dolly, saya mendengar Ibu Risma berbicara, berganti-ganti menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Dia rendah hati dan humoris. Dia menegaskan harapan kepada masyarakat untuk menjadi ”pemain”, bukan sekadar ”penonton”, dalam pertumbuhan Surabaya yang mengesankan. Dia lantas mengutip Financial Times (yang membuat saya takjub), yang baru-baru ini menyatakan Surabaya sebagai salah satu kota termurah di Asia. Benar saja, pertumbuhan Surabaya yang 7,5 persen mengalahkan rata-rata nasional yang 6 persen. Lebih lanjut, GDP (Gross Domestic Product) Jawa Timur bakal menyalip Jakarta pada 2015, ketika kebijakan-kebijakan desentralisasi mulai menunjukkan hasil. 

Surabaya adalah sebuah sentral penghubung nasional, dengan lebih dari 40 penerbangan sehari ke Jakarta, dan tak terhitung lagi penerbangan frekuensi tinggi ke Balikpapan, Makassar, Denpasar, dan Ambon. Banyaknya pusat perbelanjaan di Surabaya juga mencerminkan kemakmuran dan bertumbuhnya daya beli masyarakatnya. Contohnya Tunjungan Plaza di tengah kota, yang penuh dengan orang mengunjungi Louis Vuitton, Zara, dan Batik Keris. Pemandangan serupa terlihat di bagian barat kota yang dikelilingi sejumlah lapangan golf dan komunitas berpagar. Mal-mal di sana pun dibanjiri manusia. Pada hari ketika saya meninggalkan kota, ada liputan besar di koran-koran lokal tentang pembukaan pusat perbelanjaan raksasa lain, Grand City Mall, di pinggiran Kalimas. Jadi, bagi pebisnis yang ingin menginjakkan kaki di pasar Indonesia yang besar, Surabaya memberikan alternatif yang atraktif dari ibu kota yang sangat berpolitik dan sering kali membingungkan. 

Tetapi, Surabaya lebih dari sekadar pusat bisnis. Kota ini berada di jantung jaringan kelembagaan Islam, tempat-tempat ibadah, makam, dan sekolah-sekolah yang membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU yang berakar kuat pada budaya dan sejarah Jawa mewakili salah satu (organisasi keagamaan) yang paling dinamis di dunia dalam memberikan tafsir yang membumi terhadap Islam. Semangat kebanggaan lokal di Surabaya ini mengingatkan saya kepada Kota Baru (Malaysia).Sebagai simpatisan, saya juga menjadi pembicara di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, tempat saya dijamu Rektor Bapak Nur Syam. Peserta seminar yang muda-muda itu sangatlah penasaran, bersemangat, dan amat menyadari tren global. Yang menarik, pertanyaan-pertanyaan paling berat justru disampaikan gadis-gadis yang berjilbab… (*)

Tulisan ini merupakan terjemahan artikel yang sebelumnya dimuat di harian berbahasa Inggris terbesar di Malaysia, The Star.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar