Senin, 18 April 2011

Kulit Lupa Akan Kacangnya

Siapa sih yang ngga tahu pepatah lama kacang lupa akan kulitnya? Dari anak kelas 1 SD sampai kakek - kakek penjual rujak buah juga tahu arti pepatah lama tersebut. Tetapi bagaimana dengan kulit lupa akan kacangnya? Pasti kalian semua yang mendengarnya berpikir yang ngomong pepatah itu pastilah bodoh atau lebih halusnya sih ngga tamat sekolah dulunya. Eh tapi tunggu dulu, pepatah yang sekiranya terbalik itu ternyata benar - benar ada faktanya di dunia ini.


Semula berawal dari keharusan untuk kuliah di kota orang yang katanya kota megapolitan pusat dari segala pusat kegiatan di Indonesia. Mau apa aja di Jakarta semuanya ada, dari ngelihat gedung - gedung pencakar langit hingga rumah kolong jembatan pun ada, dari mobil jenis terbaru yang di launching hingga metro mini gak layak pakai pun menjamur di kota ini, dari Mall mewah nan megah di pusat kota hingga pasar tradisional kumuh yang terkadang kiosnya dibuat tempat tinggal pun ada. Tetapi bukan itu yang dibahas di sini, bukan gedung pencakar langit, bukan rumah kolong jembatan, bukan mobil baru launching ataupun metro mini ngga layak jalan, bukan juga mall mewah apalagi kios pasar tradisional yang merangkap tempat tinggal, bukan itu semua yang bakal dibahas dalam pepatah terbalik ini. *trus apa guna ngoceh panjang lebar itu juga -_______-*



Jakarta-kota nano nano, banyak sekali orang yang rela mengadu nasib ke Jakarta. Entah apa daya tarik dari Jakarta ini hingga seperti ada magnet bagi para perantau yang umumnya dari desa dan pedalaman di seluruh Indonesia mengadu nasib di kota ini. Ngga salah jika Jakarta bisa disebut kota nano nano, manis asem asin rasanya campur aduk berbagai suku, ras, dan agama menyatu di kota ini. Sama halnya dengan kampusku yang notabene para mahasiswanya dicomot dari sekolah - sekolah negeri maupun swasta yang terbentang dari Sabang dari Merauke. Jadi bisa disimpulin juga kalau kampusku nano nano manis asem asin rasanya. *kesimpulan gagal*


Bisa dibayangin kan gimana nano nano nya kampusku. Dari etnis batak, betawi, sunda, jawa, madura, dayak pun ada. Mereka semua membaur menjadi satu dalam keluarga mahasiswa STAN *sok sokan kalo ini*. Setengah tahun lebih aku mengenal mayoritas mahasiswa STAN ini yang nano nano manis asem rasanya. Entah ada yang beda apa cuma perasaan aja bahwa ada beberapa yang berbeda *mbulet*. Mayoritas mahasiswa tersebut membentuk dua kubu, kubu pengeksklusifan diri dengan membanggakan kampungnya sendiri tetapi juga ada yang berubah menjadi anak gaul Jakarta dadakan.


Pengeksklusifan diri, berkomplot sendiri, berbicara dengan bahasa daerahnya sendiri bersama kaumnya dan merasa bangga ketika kita - kita yang ikutan nimbrung ngga ngerti dengan yang mereka omongin. Mereka berasa superior dan mendominasi seakan kampus ini milik mereka sendiri *sumpah ini bahasa berlebihan banget , mohon maaf yak*. Kita sebagai kaum minoritas cuman melongo di pojokan *ye kasihan ngga diajak main* #eeeh #absurd.


Kehilangan jati diri, nah ini nih bagi para abg labil ini yang biasanya terjadi saat baru menginjak ranah ibukota. Bergaya seakan menjadi anak gaul Jakarta yang sepertinya anak jakarta asli sendiri juga ngga berlebihan seperti para abg labil yang baru tahu bagaimana ibukota sebenarnya. 


Lo-gw bahasa yang biasa dipake anak anak Betawi dan Jakarta pada umumnya pun dipraktekin juga dalam kehidupan sehari - hari para abg labil ini. Kalo anak Jakarta sendiri dan sekitarnya ngomong lo-gw tak ada masalah kan emang itu bahasa enyak-babe mereka sendiri lah kalo abg labil ini? 
Masih mending kalo ngomong lo-gw nya itu seperti kaya anak Jakarta umumnya tapi kalo ngomongnya masih dengan logat bahasa daerah sendiri aduh plis ya ampun malu maluin coba. Kalo kata Boyo Digdoyo sih "kupingku rasane koyo diogok ogok Tugu Pahlawan"(telingaku rasanya seperti ditusuk - tusuk Tugu Pahlawan red).


Membanggakan daerah sendiri ngga harus mengabaikan dan tidak menganggap ras yang lainnya bukan? dan juga menjadi gaul ngga harus sampai lupa daratan begitu bukan? 


Seperti kulit lupa akan kacangnya, melupakan bahwa kacang dan kulitnya itu merupakan komplemen dan harus bersama seperti kita merupakan satu kesatuan Indonesia tanpa harus membanggakan daerah sendiri dan memandang daerah lain tidak sama tinggi.


Seperti kulit lupa akan kacangnya, mengubah kulit dengan berubah menjadi anak gaul dan malah melupakan inti dari kacangnya, melupakan adat dan kebiasaan daerah sendiri.


Seperti KULIT LUPA AKAN KACANGNYA.

2 komentar:

  1. Yah bener banget, aneh banget rasanya denger orang sok-sokan ngomong loe-gw padahal logatnya nggak cocok banget. kedengeran alay-_-"

    BalasHapus
  2. haha iya , pengennya dianggep gaul tapi bagi gak enak malahan buat yang ndengernya -______-"

    BalasHapus